The Black Diary
Aku sedang
melawan nalarku. Antara hati menginginkan dia dan hati memberontak karena dia
terlalu ‘welcome’ terhadap hampir semua laki-laki. Dan banyak hal lagi yang aku
rasa itu sangat tidak adil dan menyakitkan bagiku. Kenapa? Karena hatiku telah
terbiasa untuk bagaimana memberi dia pengertian, dan badan ini bekerja keras
untuk memberikan kenyamanan untuk dia. Tetapi ego dan sifatnya masih ia
pertahankan. Bahkan dia sampai berkata padaku bahwa dia tidak bisa
menghilangkan sifat ataukah mungkin sifat itu yang telah menjadi kebiasaan
baginya. Sehingga dia sangat betah dengan cara seperti itu.
“Aku merasa lebih nyaman kalau
bergaul dengan laki-laki. Karena mereka itu tidak bermuka dua. Tidak seperti
perempuan. Didepanku mereka bersikap manis, tetapi saat dibelakangku mereka
menyerangku.”. Secara pribadi aku merasa iba dengannya, dan hatiku tergerak
untuk menunjukan bahwa tidak semua laki-laki itu bermuka dua. Lelaki itu licik,
dan aku mengakuinya. Mereka akan menyerang ketika ada saat yang tepat baginya
untuk menyerang. Dan tidak semua perempuan itu bermuka dua. Aku berdiri selama
ini melihat tidak sedikit perempuan yang benar-benar memiliki ketulusan. Aku
pun memaklumi keadaannya yang seperti itu karena dia hidup dari kecil tanpa
kebahagiaan dari orang tua. Orang yang menjadi figur bagi anak-anak. Dia
seperti itu juga karena dia adalah anak tunggal.
Dia menginginkan figur seorang
kakak laki-laki. Kakak laki-laki yang memiliki seorang adik perempuan. Yang
mana kakak tersebut benar-benar mengerti cara menjaga, merawat, dan menyayangi
adik perempuannya. Oleh karena itu, ia sangat senang dengan laki-laki yang bisa
menjadi sosok/figur seorang kakak laki-laki baginya. Bahkan dia bisa melebihi
sosok seorang pacar baginya. Aku tidak mempersalahkan dia benilai hal seperti
itu. Aku memakluminya, sangat. Tapi lama-kelamaan aku merasa tertekan dengan obsesinya. Bahkan
dia membandingkan aku dengan mantan pacarnya yang memiliki adik perempuan. Dan
saat ini aku pun sebenarnya masih disama-samakan dengan mantan pacarnya, dan
aku dibandingkan dengannya. Selain itu, beberapa hari ini aku tidak banyak
kontak dengannya. Pada hari Minggu ini aku pun bertemu dengannya. Kita
berkeliling-keliling kota, kita bersendau-gurau, aku mengantarkannya membeli
kosmetik, dan kita minum bersama. Pada saat itu pun ia bercerita kepadaku bahwa
ia bertemu dengan mantan pacarnya. “Sekarang ‘G’ gendutan. Dan aku kemarin
bertemu Hendri juga.” . Really? Disaat aku ingin bersamanya, dia malah sempat
bercerita seperti itu didepanku.
Gelap. Dingin. Sakit. Bingung.
Sepi, walaupun aku ditengah keramaian. Ditengah tawa teman-temanku, aku merasa
kosong walaupun aku ikut tertawa. Aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa. Aku
butuh seseorang, tetapi aku tidak punya. Aku pun teringat saat dia sedang
kesusahan, aku datang menghampirinya, menenangkannya, memeluknya. Tapi, saat
aku sedang dikeadaan seperti ini, aku membutuhkannya. Tapi apa? Dia dingin, dia
menganggap aku ini berlebihan dalam merasakan hal ini karena dia membandingkan
dengan apa yang ia alami, dia tidak peduli, dia tersenyum dan tertawa kecil
seakan aku ini adalah laki-laki lebay. Aku ingin bercerita kepadanya, dia
adalah orang terdekatku. Aku ingin dipeluknya, aku ingin ditenangkannya, aku
ingin dia juga mengerti keadaanku. Aku menginginkannya bukan karena didasari
oleh nafsu. Tetapi aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk menopangku. Rasanya
aku hampir gila, aku ingin berteriak sampai pita suaraku lepas, aku ingin
memukul sesuatu yang sangat keras. Tetapi aku kembali terjebak didalam
kebingungan yang ada dikepalaku.
Aku harap aku bisa menemukan
seseorang yang bisa membantuku, menopangku, menemaniku. Aku ingin lepas dari
ganggunan yang aku derita ini. Aku ingin menjadi normal. Aku ingin merasa
bahagia. Tuhan tolong aku, rasanya aku ingin mati. Rasanya aku tak tahan. Aku
tak tahu harus berbicara kepada siapa. Aku benar-benar meminta ampun padaMu.
Aku berserah.
Dia yang memiliki latar belakang
keluarga yang gelap seperti itu. Hal ini mengakibatkan dia memiliki pengalaman
dalam berpacaran yang menurutnya dia mengenal apa itu ’cinta’. Seakan-akan dia
lebih tahu apa yang harus dilakukan kepada pacar laki-lakinya, terlebih lagi
dia yang bisa menjadi seorang figur kakak laki-laki bagi dirinya. Apakah aku
salah jika aku tidak begitu banyak memiliki pengalaman memahami seorang
perempuan, bagaimana memperlakukan seorang pacar perempuan. Aku pun belajar apa
itu pacaran yang sesungguhnya juga dari dia. Sampai detik ini, aku bertahan
untuk dia. Aku pernah berkata bahwa ia adalah yang akan menajadi seorang
mempelai untukku, menjadi teman hidupku, menjadi seorang ibu dari anak-anakku.
Apakah salah kalau aku tidak seperti apa yang ia mau? Apakah salah kalau aku
tidak menjadi seorang kakak laki-laki bagu dia yang bisa merawat adik
perempuan, mengerti adik prempuan, menjaga adik perempuan, karena aku memiliki
adik laki-laki? Tuhan apakah aku salah?
Entah bagaimana? Entah siapa
yang bisa membuat dia mengerti? Apakah aku harus melepasnya? Atau menggenggam
tangannya? Apakah aku akan tetap menerimanya dengan pertempuran hati dan
nalarku yang saat ini kurasakan? Apakah aku bisa memutuskannya dengan akal
sehat? Hal itu masih menjadi pertanyaan bagi diriku sendiri …
Comments
Post a Comment